Sabtu, 06 Agustus 2011

Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah


“Al-Quran dan Sunah yang suci merupakan rujukan setiap Muslim dalam mengetahui hukum-hukum Islam.” 
Al-Quran asalnya adalah bentuk mashdar dari kata kerja Qara-a. Allah Swt. berfirman,
Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaan-nya itu (Al-Qiyamah: 18), seperti lafadz kufran dan rujhan. Ada-pun artinya adalah himpunan. Disebut Quran karena ia menghimpun dan memuat surat-surat.
Penggunaannya khusus untuk nama kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., sebagaimana nama Taurat untuk kitab yang diturunkan kepada Musa a.s. dan Injil untuk kitab yang diturunkan kepada Isa a.s.
Sebagian ulama berkata, “Al-Quran ini dinamakan Quran diantara kitab-kitab Allah yang lain, karena ia menghimpun buah kitab-kitab-Nya, bahkan menghimpun buah semua ilmu. Sebagaimana Allah Swt..berfirman,

Dan menjelaskan segala sesuatu (Yusuf: 111), dan firman-Nya, Untuk menjelaskan segala sesuatu (An-Nahl: 89). "

Para ulama mendefinisikan Al-Quran dengan berbagai definisi. Definisi paling lengkap adalah, Al-Quran merupakan firman Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Muhammad Saw., ditulis dalam mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir, dan membacanya merupakan suatu ibadah. Definisi ini telah menghimpun karakteristik terpenting Al-Quran yang menjadikannya istimewa, meskipun teristimewa juga dalam banyak hal selainnya.

Adapun Sunah, makna asalnya adalah cara dan perjalanan hidup. Termasuk menerangkan makna ini, sabda Nabi Saw., Barangsiapa menjalani suatu cara hidup yang bak dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya.

Dalam terminologi syariat, yang dimaksud Sunah adalah segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Nabi Saw., baik dengan ucapan, perbuatan, maupun taqrir (penetapan) bagi hal-hal yang tidak tercantum dalam Al-Quran. Karena itu orang mengatakan bahwa dalil-dalil syariat adalah Alkitab dan Sunah, yakni Al-Quran dan Hadits.

Para ulama ushul fiqh mendefinisikan Sunah sebagai sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw. baik berupa ucapan, perbuatan, atau taqrir (penetapan). Contoh yang berupa ucap-an adalah, Sesunguhnya segala amal perbuatan ditentukan oleh niat-nya. Contoh yang berupa perbuatan adalah hal-hal yang diriwayatkan oleh para sahabat mengenai tata rara ibadah dan lainnya. Sedangkan contoh taqrir adalah pengakuan beliau terhadap ijtihad para sahabat mengenai shalat asar pada perang bani Quraidhah dan pengakuan beliau terhadap Khalid bin Walid yang memakan biawak.

Al-Quran dan Sunah yang diterangkan dalam prinsip kedua ini sebagai rujukan setiap Muslim untuk mengetahui hukum-hukum Islam. Apa yang dimaksud dengan merujuk di sini? Bagaimana ia terjadi? Apa dalilnya?

Sebelum menjelaskan hal tersebut, terlebih dahulu kami akan menjelaskan makna bahasa dari lafadz marji’, definisi syar’i kata Muslim dan hukum yang diambil dari kedua sumber perundang-undangan, yakni Al-Quran dan Sunah.

Lafadz marji’ merupakan salah satu bentuk masdar raja’a. Hal ini telah dinukil oleh Sibawaih, berkenaan dengan masdar-masdar yang terbentuk dari kata kerja fa’ala yaf’alu mengikuti wazan maf’ilun. Marji’ berarti kembali ke asal atau memperkirakan permulaan, baik tempat, perbuatan, maupun ucapan. Kernbali dengan Dzat-Nya, dengan salah satu bagiannya atau salah satu perbuatannya. Sebagai contoh, firman Allah,

Hanya kepada Allah-lah marji’ (tempat kembali) (Al-Ma’idah: 48), artinya ruju’ukum(kembalimu).

Muslim ialah orang yang berserah diri, patuh, dan tunduk. Maksudnya adalah orang yang komitmen dengan Islam serta menyerahkan diri dan hatinya kepada Allah dalam segala hal. Allah berfirman,

Dan siapakah yang lebih haik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan diri kepada Allah sedang dia pun mengerjakan kebaikan (An-Nisa‘: 125).

Katakanlah, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semess alam. Tiada sekutu bap-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah." (Al-An’am: 162-163)

Tanpa ketundukan dan penyerahan diri kepada Allah dalam keputusan hukumnya, tidak disebut Islam.

Maka demi Tuhanmu, mereka dada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An-Nisa’:65)

Hukum Allah hanya diketahui dengan perantara wahyu jika itu disampaikan oleh Rasulullah Saw. yang jujur dan amanah.

Hukum-hukum syar’i adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah yang dijelaskan dalam kitab-Nya dan Sunah Rasul-Nya, baik yang tersurat maupun tersirat, berupa ijmak atau qiyas.

Setelah kami jelaskan makna marji’, Muslim, dan hukum secara ringkas, maka kami akan kembali menerangkan arti ruju’, bagaimana ia terjadi dan apa dalilnya.

1. Kembalinya Muslim kepada Al-Quran dan Sunnah untuk mengetahui hukum dan mengambil keputusan saat terjadi perselisihan, merupakan prinsip yang tidak bisa diperselisihkan di antara kaum Muslimin, namun kembali (ruju’) pelaksanaannya sebagai berikut:

  1. Kadang dilakukan secara langsung, yaitu dengan kembalinya seorang ulama yang ahli kepada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya untuk mengambil hukum secara langsung dari keduanya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah Swt.,

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (An-Nisa‘: 59).

Para ulama mengatakan bahwa maknanya adalah kernbali kepada Al-Quran dan Sunah. Allah berfirman,

Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keaman-an atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Sekiranya mereka menyerahkan kepada Rasul dan ulil amri di antara mere-ka, tentu orang-orang akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri) (An-Nisa: 83).

Orang alim yang kapabel, maksudnya adalah orang yang telah mencapai derajat nazhar(berpikir, mempertimbangkan).
  1. Tidak langsung, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai keahlian untuk mencermati Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, serta belum sampai kederajat pemahaman yang dapat membantunya mengambil hukum secara lang-sung. Ini hanya terjadi pada kalangan awam dari orang-orang buta huruf dan semisalnya. Perantara mereka kembali kepada Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya untuk mengetahui hukum Allah dalam suatu persoalan adalah para ulama. Hal itu diambil dari firman Allah,

Maka bertanyalah kepada orang yang mern punyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (An-Nahl: 43).

Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka sekelompok orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya supaya mereka dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)

Sebagaimana para sahabat telah sepakat akan hal itu. Dahulu orang-orang awam meminta fatwa kepada mereka, kemudian mereka pun menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dan tidak ada seorang pun yang mengingkari. Orang yang awam tidak boleh meminta fatwa kecuali kepada orang yang menurut pertimbangan yang kuat, termasuk ahli takwa. Apabila di negeri itu terdapat beberapa orang mujtahid, maka ia boleh bertanya kepada siapa saja yang ia inginkan di antara mereka, tidak harus menanyakannya lagi kepada yang lebih tahu, sebab boleh bertanya kepada orang yang utama, meskipun ada yang lebih utama.

2. Kembali (ruju’) bukan berarti kembali kepada teks harfiah sebagaimana yang tersurat dalam Al-Quran dan Sunah saja, seperti persangkaan sebagian orang. Ruju’lebih umum dari itu, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di berbagai buku mereka. Ruju’ mencakup kembali kepada nash dalam Al-Quran dan Sunah, atau dengan sesuatu yang direko-mendasikan oleh nash dalam Al-Quran dan Sunah, yakni berpegang kepada ijmak, qiyas, istidlal, atau dengan sesuatu yang disempurnakan oleh kaidah-kaidah umum, yang telah ditunjukkan oleh nash. Semua itu termasuk kembali kepada Alkitab dan Sunah.

Al-Amidi (rahimahullah) saat menjelaskan dalil syar’i yang menjadi rujukan ulama untuk mengetahui hukum bagi masalah tersebut mengatakan bahwa dalil syar’i itu mungkin berasal dari Rasulullah Saw. Apabila demikian, ia tidak lepas dari dua kemungkinan, yaitu dari wahyu yang dibacakan atau bukan.

Jika ia termasuk wahyu yang dibacakan, maka itu disebut Alkitab, namun jika dari wahyu yang tidak dibacakan, maka itu disebut Sunah. Jika bukan dari Rasulullah Saw., maka ia tidak lepas dari dua kemungkinan: mungkin dari sesuatu yang sumbernya harusma’shum, yang disebut ijmak, atau sesuatu yang tidak harus ma’shum. Apabila termasuk kate-gori sesuatu yang tidak harus ma‘shum, maka ia tidak lepas dari dua kemungkinan: mungkin bentuknya adalah sesua-tu yang diketahui kemudian dianalogikan dengan sesuatu yang telah lebih dahulu diketahui dan hukumnya berdasar-kan suatu hal yang menghimpun keduanya, atau bukan demikian. Apabila ia seperti yang pertama maka ia adalah qiyas, dan jika seperti yang kedua, itu disebut istidlal.

Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa masing-masing jenis ini – bagi kami – merupakan dalil munculnya hukum syar’i. Adapun pokoknya tidak lain adalah Al-Quran, karena ia kembali kepada firman Allah Swt. yang menentukan hukum-hukum. Sunah menerangkan tentang firman Allah Swt. dan hukum-Nya. Sandaran dari ijmak kembali kepada keduanya. Adapun qiyas dan istidlal, intinya kembali kepada komitmen dengan apa yang dipahami dari nash atau ijmak. Nash dan ijmak merupakan pokok, sedangkan qiyas dan istidlal merupakan cabang yang mengikuti keduanya.

3. Kembali secara langsung kepada Al-Quran dan Sunah untuk mengetahui hukum yang benar dan memahami nash-nash dengan benar, tidakberlaku mutlak hagi semua ulama. Tidak setiap ulama mampu melakukan itu, mengingat kemampuan mereka juga berbeda-beda. Tidak semua ulama sama dalam memahami lafadz-lafadz Al-Quran, meskipun jelas keterangannya dan terperinci ayat-ayatnya. Perbedaan tingkat pemahaman merupakan hal yang tidak perlu diperdebatkan. Di samping itu, kesiapan ilmiah dan orientasi orang juga berbeda-beda. Hanya sedikit orang yang dapat memenuhi syarat-syarat pemahaman secara sempuma. Karena itu, di antara ulama tafsir yang tepercaya, pemahaman dan tafsirnya pun kita dapati tidak demikian. Bahkan kita dapati juga pad a salafusaleh dari kalangan tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Kalangan para sahabat pun ada orang-orang yang lebih layak untuk diambil pemahaman dan penafsirannya dibanding yang lain. Itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendaki, Allah adalah Dzat yang mempunyai karunia yang besar.
Oleh karena itu, salah satu syarat yang asasi bagi orang yang hendak memikirkan kandungan Kitabullah untuk memahami nash-nashnya, mentadaburi ayat-ayatnya, dan menggali hukum-hukumnya adalahh dengan mengetahui kaidah-kaidah bahasa Arab dengan tidak mengada-ada dan tidak ceroboh.
Perlu diketahui bahwa sunatullah yang telah berlaku adalah setiap rasul diutus dengan menggunakan bahasa kaumnya agar dapat berbicara dengan mereka secara baik. Allah berfirman,

Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberikan penjelasan dengan terang kepada mereka (Ibrahim: 4).

Kitab suci yang diturunkan kepada rasul itu pun dengan bahasanya dan bahasa kaumnya. Jika bahasa Nabi Muham-mad Saw. adalah bahasa Arab, maka kitab suci yang diturunkan kepadanya juga dengan bahasa Arab. Dengan (bahasa Arab) itu pula Dzat yang menetapkan turunnya Al-Quran berfirman,

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya (Yusuf; 2).

Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad), agar kamu menjadi salah seorang di anta-ra orang-orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas. (Asy-Syu’ara’: 192-194), sehingga lafadz-lafadz Al-Quran itu pun berbahasa Arab.

Segi-segi makna dalam Al-Quran bersesuaian dengan segi-segi makna pada orang-orang Arab. Oleh sebab itu, pema-haman terhadap Al-Quran harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab dan segi-seginya. Hal ini merupakan asas yang dilalui oleh para pendahulu kita, diikuti oleh umat. Dipertegas juga oleh Asy-Syahid Al-Banna, yang memberikan kaidah dalam memahami Kitabullah saat ini, agar tidak tergelincir sebagaimana terjadi di masa-masa keterbukaan dan perkembangan Islam, masa kemalasan, kebekuan, dan kelesuan ilmiah yang menimpa umat Islam belakangan ini berupa simbol-simbol tasawuf, penafsiran-penafsiran fiqh, dan kedangkalan ilmiah, tidak mendalam. Berkenaan dengan hal ini, Mujahid, imam ahli tafsir berkata, “Tidaklah halal bagi sese-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir berbi-cara mengenai Kitabullah, bila ia tidak mengetahui bahasa Arab."

Apabila Anda telah mengetahui hal itu maka ketahuilah bahwa Al-Quran ada dua bagian: yang pertama, telah ada penafsiran dari orang yang dapat diakui tafsimya. Sedangkan yang kedua tidak demikian.

Bagian pertama ada tiga kemungkinan: mungkin diriwayat-kan dari Nabi Saw., dari para sahabat, atau dari tokoh-tokoh tabi’in.

Kemungkinan yang pertama perlu diteliti kesahihan sanadnya.

Kemungkinan kedua, penafsiran sahabat perlu diperhatikan. Jika menafsirkannya dari segi bahasa, maka mereka adalah ahli bahasa, sehingga tidak ada keraguan untuk dijadikan pegangan. Jika menafsirkannya dengan hal-hal yang disaksikannya, berupa sebab-sebab turunnya dan hal-hal lain yang menyertainya, ini juga tidak diragukan. Pada tataran ini, jika penafsiran-penafsiran sekelompok orang dari para sahabat bertentangan, namun dapat dikompromikan, itulah yang diha-rapkan. Namun jika tidak dapat, maka perkataan Ibnu Abbas-lah yang didahulukan. Sebab Nabi Saw. telah memberikan kabar gembira kepadanya akan hal itu saat beliau Saw. ber-sabda, Ya Allah, karuniakanlah dia kepahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir.
Jika sulit dikompromikan, maka bagi yang memiliki kapasitas untuk berijtihad boleh mengambil mana saja yang ia kehendaki.

Adapun kemungkinan ketiga, yaitu penafsiran dari tokoh-tokoh tabi’in. Apabila mereka tidak menisbatkannya kepada Nabi Saw., maka – bagi pengkaji – hal-hal yang diperbolehkan dalam masalah terdahulu. Demikian pula di sini, dan yang paling tepat adalah ijtihad.

Kedua, bagian yang tidak ada riwayat dari para mufasir tentangnya. Ini sangat sedikit. Adapun cara memahaminya adalah memperhatikan mufrodat (kosakata) lafal-lafal dari bahasa Arab, maksud, dan penggunaannya sesuai dengan konteks kalimat.

Demikian itu karena poros pemahaman Al-Quran dalam hal yang tidak ada nash tentangnya didasarkan kepada kaidah-kaidah bahasa Arab, baik dilihat dari segi satuan-satuan lafal maupun susunannya dalam kalimat.

Dari segi satuan lafal (kosakata), terbagi menjadi tiga segi:
a. Dari segi makna yang ditetapkan dari kata-kata tunggal beserta sinonimnya, hal ini berkaitan dengan ilmu bahasa Arab.
b. Dari segi struktur dan bentuk-bentuk yang terdapat dalam kosakata kata yang menunjukkan berbagai makna. Inilah ilmu sharaf (tashrif).
c. Dari segi kembalinya kata bentukan kepada kata dasar, yaitu ilmu isytiqaq.

Atau dapat juga dari segi susunannya (morfologi), dapat dilihat dari empat segi:
a. Dengan mengetahui cara menyusun kata-kata menurut i’rab-nya dan mengimbanginya, jika dilihat dari kemampuannya mendatangkan makna asal, yaitu sesuatu yang ditunjuk oleh lafal yang disusun menurut letaknya (jabatan masing-masing kata dalam kalimat), dan ini berkaitan dengan ilmu nahwu.
b. Dengan memandang cara menyusun kata-kata dari segi makna yang diberikan, yakni yang menyertai makna asal, yang berbeda-beda sesuai situasinya dalam susunan para ahli balaghah. Inilah tugas ilmu ma’ani untuk memperlihatkan keindahannya.
c. Dengan memandang cara menyampaikan tujuan, sesuai dengan kejelasan dalil, hakikat, dan tujuannya; dengan melihat segi-segi hakikat dan majaznya, isti’arah(personifikasi) dan kinayah (perumpamaan), maupun tasybih (pemisalan)nya. Ini berkaitan dengan ilmu bayan.
d. Dengan memandang kefasihan lafal, makna, istihsan, dan yang mengimbanginya, ini berkaitan dengan ilmu badi’.

Itulah dasar-dasar yang perlu diperhatikan untuk memahami Kitabullah, baik dalam menafsirkan maupun menggali hukum-hukum syar’i aplikatifnya.

Apabila tidak berpegang pada dasar-dasar ini, orang yang hendak mengemukakan pandangannya mengenai Kitabullah akan terjerumus ke dalam takaluf dan ta’asuf yang secara syar’i diperingatkan dalam sabda Nabi Saw., Aku dan orang-orang yang saleh di antara umatku berlepas diri (jauh) dari takaluf (mengada-ada).[1]

Takaluf adalah membebani diri dengan hal-hal yang berat (memperberat diri) dan menjatuhkan perkara yang berlawanan dengan adat. Karena itu takaluf juga dipakai untuk orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat

Membicarakan makna Al-Quran yang tidak ada nash tentangnya dan hanya berpegang pada pendapat tanpa bersandar kepada ilmu tentang bahasa Arab termasuk takaluf.Tentang hal ini Imam Syafi’i berkata, ”Orang yang tidak mengetahui hal ini dari bahasa orang Arab, padahal dengan bahasa Arab itulah Al-Quran dan Sunah diturunkan, kemudian memaksakan pendapatnya dalam ilmu bahasa Arab, berarti ia memaksakan sesuatu yang sebagiannya tidak ia ketahui. Barangsiapa memaksakan sesuatu yang tidak diketahui dan sesuatu yang belum dibuktikan oleh pengetahuannya, maka kesesuaiannya dengan kebenaran – jika memang sesuai – dari arah yang tidak diketahuinya adalah kesesuaian yang tidak terpuji.” Wallahu a’lam.

Kekeliruannya tidak ditoleransi bila ia berbicara tentang sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahui mana yang salah dan mana yang benar.

Imam Syathibi berkata, “Apa yang dikatakannya itu benar, sebab berbicara mengenai Al-Quran dan Sunah tanpa ilmu berarti takaluf. Padahal kita dilarang takaluf, ini termasuk dalam pengertian hadits, Hingga apabila tidak ada lagi orang yang berilmu, maka orang akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh.”Apabila mereka tidak menguasai bahasa Arab dan sebagai rujukannya dalam memahami Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya, maka ia akan merujuk kepada pemahaman ajam dan akalnya semata yang tidak berpegang kepada suatu dalil sehingga ia menyimpang dari kebenaran.

Masing-masing dari takaluf dan ta’asuf adakalanya terjadi dengan melemparkan sesuatu yang dimaksudkan dan diingin-kan oleh lafadz atau kalimat-kalimat Al-Quran kepada sesuatu yang tidak dimaksudkan dan tidak pula dikehendaki.

Hal inilah yang sering terjadi di kebanyakan kalangan ahli bid’ah. Mereka meyakini suatu mazhab yang bertentangan dengan kebenaran yang dianut oleh kelompok moderat, yang tidak pernah bersatu di atas kesesatan – seperti para pendahulu umat ini dan imam-imamnya. Mereka sengaja mengambil Al-Quran kemudian menafsirkannya sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Terkadang berdalil dengan ayat-ayat untuk mendukung mazhab mereka, padahal ayat-ayat terse-but tidak menunjukkan akan hal itu.

Pada saat yang lain mereka menakwilkan ayat-ayat yang berlawanan dengan mazhab mereka, sesuatu yang mereka gunakan untuk mengubah perkataan dari tempat-tempatnya, adalah sebagaimana yang dilakukan orang-orang Khawarij, Rafidhah, Jahmiyah, Qadariyah, Murji’ah, dan lain-lain. Misal-nya pembicaraan mereka tentang masalah asma’wa sifat, melihat Allah, Al-Quran, sebagai makhluk, dan sejenisnya.

Berbagai takaluf dan ta’asuf yang mereka lakukan terhadap nash-nash Al-Quran dan penafsirannya, sesuai dengan keya-kinan yang batil bagi masing-masing persoalan tersebut dan lainnya. Di antara pemutarbalikan makna Al-Quran dan seje-nisnya yang terburuk, penyebabnya adalah apa yang dikata-kan oleh para filosof, kaum Qaramithah, dan kaum Rafidhah, bahwa mereka telah menafsirkan Al-Quran dengan berbagai penafsiran yang membuat setiap orang berilmu tak habis pikir. Misalnya perkataan mereka tentang firman Allah,

Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa (Al-Masad: 1). Menurut mereka, yang dimaksud ayat ini adalah Abu Bakar dan Umar.

Kemudian tentang firman Allah,

Sesungguhnnya Allah berfi’rman bahwa sapi bet ina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah a pa yang diperintahkan kepadamu (Al-Baqarah: 68). Kata mereka, ia adalah Aisyah r.a.

Firman Allah,

‘Maka perangilah pemimpin orang-orang kafir itu’ (At-Taubah: 12). Kata mereka, yang dimaksud adalah Thalhah dan Zubair…. Masih banyak lagi khurafat sejenis yang berisi penafsiran lafadz dengan sesuatu yang tidak dimaksud sama sekali oleh-nya, karena lafadz-lafadz ini sama sekali tidak menunjuk tokoh-tokoh di atas.

Ketahuilah bahwa selamanya tidak boleh menafsirkan Al-Quran dengan semata-mata berdasar pada pendapat dan ijti-had, tanpa dasar ilmiah yang dapat dijadikan sandaran, karena firman-Nya Swt.,

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya (Al-Isra‘: 36).

Sesungguhnya setan it u banya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, serta mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Al-Baqarah: 169)

Hal inilah yang mereka (para ulama) pahami dari sabda Nabi Saw., Barangsiapa berkata tentang Al-Quran fanpa ilmu, hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka (HR. Baihaqi dari sebagian hadits Ibnu Abbas).[2]

Barangsiapa berkata mengenai Kitabullah dengan pendapatnya sendiri kemudian tepat, maka ia telah bersalah. (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Turmudzi yang mengomentarinya sebagai hadits gharib dari hadits Jundub).[3]

Agar seorang Muslim terbebas dari ancaman yang keras ini, maka ketika hendak mengemukakan pendapat mengenai Kitabullah dan membicarakan maknanya ia harus mendalami hal-hal berikut:
1. Ilmu bahasa Arab yang cukup untuk hal itu, berupa ilmu-ilmu yang telah kami jelaskan pada keterangan terdahulu.
2. Ilmu ushul fiqh untuk mengetahui batas segala sesuatu, bentuk-bentuk kalimat perintah, larangan, dan berita; mujmal dan mubayan; umum dan khusus; zahir danmudhmar; muhkam dan mutasyabih; mu’awal, haqiqah dan majaz; sharih dan kinayah;mutlak dan muqayad.
3. Ilmu-ilmu AI-Quran, nasih dan mansuh, sebab-sebab turunnya ayat, makna-maknagharibul quran, dan sebagainya.
4. Ilmu-ilmu pendukung lainnya yang dapat dipergunakan untuk mengetahui istidlal dan istimbat.

Demikian minimal ilmu yang diperlukan. Meskipun masih dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Karena itu hendaknya hanya mengatakan bahwa ayat ini kemungkinan begini, dan tidak boleh memastikannya, kecuali mengenai suatu hukum yang terpaksa harus diputuskan fatwa tentangnya. Dalam hal ini ia boleh memastikan untuk tetap memperbolehkan penda-pat yang bertentangan dengannya di sisi Allah.

Kemudian, dalam memahami Sunah hendaknya dikembalikan kepada tokoh-tokoh ahli hadits yang dapat dipercaya.

Hal ini karena keseluruhan Al-Quran, lafadznya mutawatir. Adapun Sunah nabawiah, sangat sedikit yang mutawatir lafadznya. Atas dasar itu dilakukanlah sejumlah penelitian untuk mencapai hadits yang dapat diterima pemahaman hukum-hukum syar’inya. Para ulama bekerja sama untuk menjelaskannya dalam sebuah ilmu yang telah mereka bukukan, disebut ilmu riwayah wa dirayah. Sebuah ilmu yang sangat luas dan harus dipahami secara baik oleh setiap orang yang hendak mengkaji Sunah Rasulullah. Agar dengan perantaraan-nya ia dapat mencapai nash-nash nabawi dan dapat dijadikan pegangan untuk menjadi dasar serta dalil atas hukum-hukum syar’i.

Adapun yang dimaksud, kembali kepada tokoh-tokoh ahli hadits yang dapat dipercaya adalah kembali kepada kitab-kitab tepercaya mereka, yang membicarakan tentang sumber yang satu ini. Melalui kitab-kitab mereka itulah, seorang Mus-lim dapat mengenali kesahihan hadits dan orang-orang yang ahli dalam bidang jarh wa ta’dil(menentukan cacat dan tidak-nya seorang rawi hadits).

Para ulama Islam telah menghimpun hadits-hadits sahih dalam kitab-kitab khusus, sebagaimana mereka telah menjelaskan hadits-hadits yang palsu dan hadits-hadits dhaif dalam kitab-kitab yang lain. Dengan menelaah kitab-kitab ter-sebut, berikut ketetapan para ulama hadits berkenaan dengan status hadits yang ada di dalamnya, berupa hadits sahih, dhaif, maupun maudhu’, maka seorang Muslim dapat mengetahui hadits-hadits tepercaya yang dapat diamalkan. Di antara buku-buku kumpulan hadits yang tepercaya dan terpenting adalah kitab-kitab induk yang enam, (sesuai urutan yang terpenting) adalah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Jami’Turmudzi, Sunan Abu Daud, Sunan Ibnu Majah, dan Sunan Nasa’i. Demikian pula Muwatha’Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, dan kitab-kitab ter-kenal lainnya. Adapun yang paling sempurna di antara semua itu adalah Sahih Bukhari, sebuah kitab paling sahih yang telah disepakati oleh ahli ilmu sesudah Kitabullah, kemudian selanjutnya Shahih Muslim.

Ketika berkaitan dengan Sunah disyaratkan juga mengetahui bahasa Arab. Bahkan bahasa Arab merupakan salah satu alat untuk memahami Sunah Rasulullah Saw., karena ia diucapkan oleh orang Arab yang paling fasih dan balig, yaitu Muhammad bin Abdullah Saw. la menjelaskan Kitabullah yang diturunkan dengan bahasa Arab yang nyata.

Oleh karena itu, pemahaman terhadap bahasa Arab termasuk hal-hal yang asasi untuk memahami Sunah nabawiah. Segala yang diperlukan untuk memahami nash-nash Al-Quran, juga diperlukan untuk memahami Sunah Rasulullah Saw. Hal itu seperti ilmu ushul fiqih dan cabang-cabangnya. Oleh sebab itu, semua harus dikuasai.

Akhirnya, para pendahulu umat ini merasa perlu ada beberapa ilmu yang dibukukan, karena ia bagai kunci untuk mema-hami Kitabullah dan Sunah Rasulullah Saw. Karena itu, ia menjadi wajib bagi pengkaji Kitabullah dan Sunah Rasulullah Saw. untuk mengetahui dan memahaminya dengan baik sesuai dengan kaidah, sesuatu yang suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya maka ia adalah w ajib. Ilmu-ilmu tersebut adalah:
1. Ilmu-ilmu Al-Quran.
2. Ilmu-ilmu hadits, dirayah, dan riwayah.
3. Ilmu-ilmu bahasa Arab dan metode berbicara yang ada di dalamnya.
4. Ilmu ushul fiqih.

Karena itu seorang Muslim yang hendak mengkaji Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya harus memahami ilmu-ilmu tersebut dengan baik, agar pemahamannya terhadap Al-Quran dan Sunah menjadi lurus dan mampu menggali hukum-hukum syar’i dari keduanya.Wallahul-Muwaffiq.

[1] Hadits ini dinukil oleh Sa’id Hawwa dalam tafsirnya, Juz 9/4812, dan disebutkan dalam Shahihain riwayat Ibnu Mas’ud r.a., beliau bersabda, "Wahai manusia, barangsiapa di antara kalian mengetahui suatu ilmu maka katakanlah, dan barangsiapa tidak mengetahui maka katakanlah, ‘Allahu A’lam.’ Allah berfirman kepada Rasul-Nya,Katakanlah (hai Muhammad), Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan." (Shad: 86)
[2] Dikeluarkan oleh Turmudzi dengan redaksi, Barangsiapa mengatakan tentang Al-Quran dengan pendapatnya, hendaklah ia menempati kedudukannya di neraka. Abu Isa menga-takan bahwa ini hadits hasan. Jilid 11/67 dari ‘Aridhaul Ahwadzi,
[3] Jami’Al-Ushul 2/3. Komentatornya mengatakan, "Dikeluarkan oleh Turmudzi no. 2953 tentang tafsir dan Abu Daud no. 3652 tentang ilmu, bab “Berbicara Tentang Kitabullah Tanpa llmu". Dikeluarkan juga oleh Thabari dalam Jami’ul Bayan no. 80. Dalam sanadnya ada Suhail, tidak digunakan untuk berhujah oleh Bukhari, Amad, dan Abu Hatim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar