Sabtu, 06 Agustus 2011

Allah tempat bergantung

Ya Allah, peliharalah aku dengan Islam ketika aku berdiri. Peliharalah aku dengan Islam ketika aku duduk. Peliharalah aku dengan Islam ketika aku terbaring. Jangan gembirakan orang yang memusuhiku dan yang menyimpan dengki kepadaku. Ya Allah, aku memohon kepada-Mu semua simpanan kebaikan yang ada di Tangan-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari seluruh simpanan kejahatan yang ada di Tangan-Mu." (HR. Al Hakim dalam Al Mustadrak, I/525)
Ini adalah do’a yang diucapkan Amirul Mukminin, Umar bin Khattab ra. Kelihatannya sederhana. Meminta perlindungan Allah swt dari segala Sissie. Memohon semua kebaikan dan menolak semua kejahatan. Tapi, curahan kata-kata itu begitu mencakup seluruh bentuk tameng perlindungan yang harus dipintakan seorang hamba kepada Allah swt.
Tapi, pernahkah kita merasakan begitu sulitnya merangkai kata dan kalimat dalam sebuah pinta kepada pemilik sifat Ash Shamad, Tempat Meminta. Pernahkah kita merasakan kesulitan merangkum permohonan dan menumpahkannya dalam do’a kepada Yang Maha Kaya. Bukan karena kita yang tidak pandai menyusun kata, karena do’a memang tidak harus dibumbui dengan kata-kata puitis yang justru menjadi semakin sulit dipahami. Masalahnya, lidah terasa kelu untuk meminta, dan jiwa sulit sekali dipertemukan dengan bait-bait kata yang menyimpan permohonan sangat dan menyeluruh kepada Allah swt, Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Saudaraku,
Tahukah apa rahasia di balik keindahan do’a dan kesempurnaan munajat yang diucapkan oleh orang-orang shalih? Sesungguhnya untaian kata dalam do’a, adalah ekspresi dari kedalaman perasaan mereka terhadap apa yang mereka pintakan kepada Allah swt. Rasa begitu bergantung dan bersandar pada ke Maha Kuasa dan ke Maha Besaran Allah swt sehingga menjadikan mereka bertenaga dalam mengungkapkan harapannya kepada Allah swt sebagai satu-satunya tempat meminta.
Begitulah, untaian kata dan hubungannya dengan letupan serta gelora yang ada dalam jiwa. Rasulullah saw dan para sahabatnya, yang memiliki tingkat ketawakkalan sangat tinggi kepada Allah swt, begitu indah mengungkapkan kata demi kata yang mencakup harapannya kepada Allah swt. Para hamba-hamba Allah swt yang shalih itu, mempunyai keyakinan dan iman yang menyala-nyala dalam batinnya, hingga mereka begitu nikmat mengeluarkan rangkaian kata untuk memohon kepada Allah swt secara menyeluruh. Mereka begitu memiliki kedekatan yang intim kepada Allah swt dalam hari-harinya, lalu mereka begitu mudah berinteraksi, berbicara, berdialog, meminta, memohon, bermunajat, berkeluh, bercerita, kepada-Nya.
Saudaraku,
Mari perhatikan lagi, bagaimana bunyi salah satu do’a yang dipanjatkan Rasulullah saw seperti disampaikan oleh Abdullah bin Umar ra. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan untaian do’a ini ketika pagi dan sore: "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keselamatan di dunia dan akhirat. Ya Allah aku memohon kepada-Mu ampunan dan keselamatan dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutuplah auratku. Lindungilah ketakutanku. Ya Allah peliharalah aku dari hadapanku, dari belakangku, dari sisi kananku, dari sisi kiriku, dari atasku. Aku berlindung dengan keagunganMu diserang dari bawahku." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Saudaraku,
Seperti itulah permohonan yang dipanjatkan Rasulullah saw. Mohon agar perlindungan Allah swt selalu menyertainya dari semua sudut, dari semua sisi, tanpa celah dan lubang yang tersisa, dan di setiap waktu. Meminta agar Allah swt tak pernah membiarkannya menjadi incaran dan korban semua kejahatan dari makhluk-makhluk-Nya. Sungguh-sungguh memanjatkan harapan agar Allah swt menyelamatkan agama, dunia dan akhiratnya, menutupi kekurangannya, membentengi ketakutannya.
Pernahkah kita begitu bergantung kepada Allah swt hingga memanjatkan do’a yang sangat menyeluruh seperti ini? Muatan sebuah do’a benar-benar merupakan pantulan dari ketergantungan seseorang yang begitu tinggi kepada Allah swt. Dan seperti itulah jiwa Rasulullah saw, para sahabatnya juga para orang-orang shalih. Hingga ketergantungan yang demikian besar itu, seorang shalih dahulu, pernah menuliskan surat kepada saudaranya begitu singkat. Katanya, "Wa ba’du. Jika Allah swt bersamamu, siapa lagi yang engkau takuti?? Tapi jika Allah swt meninggalkanmu, kepada siapa engkau meminta?? Wassalam".
Merenunglah di sini,
Tentang ketergantungan kita kepada Yang Maha Kuat. Tentang nyala keimanan dan keyakinan kita kepada Penguasa Kehidupan. Tentang kedekatan dan keintiman kita kepada Pencipta 
Kehidupan ….
Semakin kita memiliki anasir ketergantungan yang kuat kepada Allah swt seperti itu, kita akan lebih mudah mengucapkan untaian kata permohonan kepada Allah swt. Dan lidah kita, semoga tidak lagi begitu kelu mengutarakan munajat kepada-Nya. Kita semakin merasakan kenikmatan saat meminta dan bersandar kepada Al Qadiir, Yang Maha Kuasa…
Saudaraku,
Soal penanaman nilai ketergantungan kepada Allah swt, dilakukan oleh Rasulullah saw kepada sahabatnya dengan begitu kuat. Diriwayatkan, Rasulullah saw, pernah membai’at para sahabatnya untuk tidak meminta kepada sesama manusia atas keperluan apapun. Mereka yang dibai’at ketika itu adalah Abu Bakar Shiddiq, Abu Dzar, Tsauban, dan beberapa orang lainnya, 
radhiallahu anhum. Disebutkan dalam sirah, orang-orang yang dibai’at Rasulullah itu kemudian tidak pernah meminta tolong kepada orang lain. Jika tali kekang atau kendali untanya jatuh, ia akan turun dan mengambilnya sendiri dan tidak meminta tolong orang lain untuk mengambilkannya." (HR. Muslim)
Itulah tawakkal,
Ketergantungan yang menjadikan seseorang tahu bahwa dirinya hanya bersandar dan berharap kepada-Nya. Lalu secara otomatis sangat memelihara diri dari penyimpangan yang bisa menjadi indikasi keterlepasannya dari ketergantungannya pada Allah swt. Dan Allah swt pasti menjaga hamba-hamba-Nya yang sangat bergantung kepada-Nya. Wallahu’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar