Selasa, 01 November 2011

Hanya Satu Jalan Menuju Allah


Syaikh Abdul Malik Bin Ahmad Ramdhani
28 Januari 2005

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa jalan yang menjamin
nikmat Islam bagimu hanya satu, tidak bercabang. Allah telah menetapkan
keberuntungan hanya untuk satu golongan saja. Allah ber rman,
Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesunguhnya
golongan Allah itulah golongan yang beruntung. (QS Al
Mujadalah: 22).
Dan Dia (Allah) menetapkan kemenangan hanya untuk mereka pula. Allah
ber rman,
Dan barangsiapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang
beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut
(agama) Allah itulah yang pasti menang. (QS Al Maidah: 56).
Bagaimanapun, anda mencari dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka
anda tidak akan menemukan di dalamnya (dalil, Red.) pengkotak-kotakan
umat kepada jama'ah-jama'ah, partai-partai atau golongan-golongan, kecuali
perbuatan itu dicela dan tercela. Allah ber firman,
Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah. yaitu orang-orang yang memecah-belah agama rnereka,
dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan
¤Dikutip dari majalah As-Sunnah 08/VII/1421H hal 28 - 34.
[1]
merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan rnereka. (QS
Ar Rum: 31-32).
Bagaimana mungkin Allah mengakui dan melegitimasi perpecahan ummat,
setelah Dia memelihara mereka dengan tali (agama)Nya? Lagi pula, Allah telah
melepaskan tanggung jawab NabiNya -Muhammad- atas umatnya, manakala
mereka berpecah-belah, dan (Allah) mengancam mereka atas perpecahan
tersebut. Allah ber rman,
Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan
rnereka (terpecah) menjadi beberapa golongan. tidak ada
sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya
urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka
perbuat. (QS Al An'am:159).
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan berkata,
Ketahuilah, bahwasanya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah
kami, lalu bersabda,
Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian
terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan
bahwasanya. umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh
tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu
yang di surga, yaitu Al Jama'ah. 1
1Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi 2/241; Thabrani
19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang lainnya. Hadits ini shahih.
Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596:7 Tirmidzi no. 2642;
Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya'la no. 5910, 5978, 6117; Ibnu Hibban 14/6247 dan
15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari hadits Abu Hurairah, dan Hakim mcmpunyai
beberapa riwayat lain dalam jumlah banyak dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr
bin Al Ash, dari yang selainnya.
Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi, dan Al Jazajani
dalam kitab Al Bathil 1/302; Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/213; Asy Syathibi
dalam Al I'tisham 2/698, Tahqiq Salim Al Hilali; Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa
3/345; lbnu Hibban dalam Shahih-nya 4/48; lbnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; lbnu
Hajr dalam Tarikh Al Kasysyaf halaman 63; Al Iraqi dalam Al Mughni 'An Hamlil Asfar,
[2]
Mengomentarl hadits ini, Amir Ash Shan'ani berkata,
"Penyebutan bilangan pada hadits ini. bukan untuk menjelaskan
banyaknya orang yang binasa. Akan tetapi, hanya untuk
menerangkan luasnya jalan-jalan kesesatan dan cabang-cabang
kesesatan, serta untuk menjelaskan bahwa jalan kebenaran itu hanya
satu.
Hal ini, sama dengan yang telah disebutkan oleh ulama ahli tafsir
berkaian rman Allah,
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu
yang lunts, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan jalan (yang lain). karena jalan jalan
itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. (QS Al
An'am: 153).
Pada ayat ini, Allah menggunakan bentuk jamak pada kata
yang menerangkan "jalan jalan yang dilarang mengikutinya", guna
menerangkan cabang-cabang dan banyaknya jalan kesesatan serta
keluasannya.
Sedangkan pada kata "jalan petunjuk dan kebenaran", Allah
menggunakan bentuk tunggal. (Ini) dikarena jalan al haq itu hanya
satu, dan tidak berbilang. 2
Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata,
Rasullah membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda,"Ini
adalah jalan Allah." kemudian beliau membuat garis lain pada sisi
no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah, halamnan 4/180; Al Albani dalam
Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya.
Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid'ah yang
berupaya melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia -aku ingin menjadikan mereka
bisu. Al Hakim berkata tentang hadits ini,
"Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana scbagian ulama telah menempatkannya
dalam hadits-hadits yang pokok."
2Lihat Hadits Iftiraqul Ummah lla Nayyif Sab'ina Firgah, halaman 67 - 68.
[3]
kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, "Ini adalah jalan jalan
(yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada
jalan itu," kemudian beliau membaca,
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu
yang lurus. rnaka ikutilah dia; danjanganlah kamu
mengikutijalan jalan (yang lain). karena jalanjalan
itu rnencerai-beraikan kamu dari jalanNya. (QS Al
An'am: 153). 3
Redaksi hadits ini menunjukkan, bahwa jalan (kebenaran, pent.) itu hanya satu.
Imam Ibnul Qayyim berkata,
"Dan ini disebabkan, karena jalan yang mengantarkan (seseorang)
kepada Allah hanyalah satu. Yaitu sesuatu yang dengannya Allah
mengutus para rasulNya dan menurunkan ktab-kitabNya. Tiada
seorangpun yang dapat sampai kepadaNya, kecuali melalui jalan ini.
Seandainya manusla datang dengan menempuh semua jalan, lalu
mendatangi setiap pintu dan meminta agar dibukakan, niscaya
seluruh jalan tertutup dan terkunci buat mereka: terkecuali melalui
jalan yang satu ini. Karena jalan inilah, yang berhubungan dengan
Allah dan bisa mengantarkan kepadaNya. 4
Aku (penyusun) mengatakan:
Akan tetapi, banyaknya liku-liku di jalan ini yang cukup memberatkan,
menyebabkan seseorang menjadi ragu, lalu meninggalkannya.
Dan sesungguhnya kelompok-kelompok yang menyimpang, telah
menyelisihi jalan ini. (Penyebabnya), karena merasa senang dan
tenang pada jalan yang banyak, serta merasa berat untuk menyendiri.
Ingin segera tiba (tergesa-gesa, Red.) dan takut memikul beban
perjalanan yang panjang.
Ibnul Qayyim berkata,
"Barangsiapa menganggap jauh satu jalan ini, maka dia tidak akan
mampu menempuhnya."
3Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad I/435, dan yang lainnya.
4At Tafsir Al Qayyim, halaman 14-15.
[4]
Mengenal Jalan Yang Satu
(Menyimpulkan) dari pendapat Ibnul Qayyim di atas, maka jelaslah jalan yang
dimaksud. Dan jelas, bahwa jalan yang dimaksud disini, ialah "rukun yang
kedua" dari rukun tauhid. (Yaitu) setelah syahadat (persaksian) bahwa tidak
ada sesembahan yang haq selain Allah, maka (yang kedua, Red.) persaksian
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Dan (kalimat) ini, juga menjadi syarat kedua diterimanya suatu amal ibadah.
Karena -sebagaimana sudah diketahui- bahwa amal ibadah tidak akan diterima,
kecuali setelah memenuhi dua syarat;
1. Mengikhlaskan agama (ketaatan) karena Allah semata.
2. Dalam beribadah hanya dengan mengikuti (cara yang dicontohkan) Nabi
Pada kesempatan ini, saya tidak bermaksud menjadikan kaidah yang mashur ini
sebagai dalil dalam pembahasan ini. Sebab, tujuan utama bahasan ini untuk
menjelaskan bahwa jalan yang pernah ditempuh Nabi, itulah satu-satunya jalan
yang bisa mengantarkan seorang hamba kepada Allah.
(Pengenalan terhadap jalan ini amat penting, pent); karena ketidak tahuan
terhadap jalan ini, rintangan-rintangannya, serta tidak mengerti maksud dan
tujuannya, hanya akan menghasilkan kepayahan yang sangat, tanpa bisa
mendapatkan manfaat yang berarti. 5
Tujuan pembahasan ini, juga untuk menjelaskan, bahwa jalan itu hanya
satu. Sehingga tidak boleh berdusta mengatas-namakan Rasulullah dengan
menda'wahkan, bahwa jalan menuju Allah itu (jumlahnya banyak, pent.),
sejumlah bilangan nafas manusia.
Atau ungkapan-ungkapan lain, yang menurut agama Allah -yang datang guna
menyatukan pemeluknya dan bukan untuk memecah-belah mereka- jelas nyata
kebathilannya. Allah ber rman,
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,
maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadiah kamu karena
nikmat Allah orang yang bersaudara. (QS All Imran: 103).
5Lihat Al Fawa'id, karya Ibnu Qayyim, halaman 223.
[5]
Tali yang menjamin kaum muslimin adalah kitab Allah, sebagaimana penafsiran
para ulama kaum muslimin. Abdullah bin Mas'ud berkata,
Sesungguhnya, jalan ini dihadiri para syetan. Mereka berseru,
"Wahai hamba-hamba Allah, kemarilah. Ini adalah jalan
(yang benar)."
(Mereka melakukan ini, pent.) untuk menghalang-halangi manusia
dari jalan Allah. Maka, berpegang taguhlah kalian dengan hablullah.
Sesungguhnya, hablullah itu adalah Kitabullah. (Al Qur'an). 6
Ungkapan Ibnu Mas'ud ini, mengandung dua makna yang sangat penting.
1. Jalan menuju Allah itu hanya satu. Hanya saja, jalan itu dikelilingi oleh
syetan yang ingin memisahkan manusia dari jalan ini.
Sementara itu, syetan tidak menemukan jalan terbaik untuk menceraiberaikan
mereka dari jalan ini, kecuali dengan menda'wakan, bahwa jalan
jalan itu banyak. Maka, barangsiapa yang hendak memasukkan suatu
anggapan kepada manusia, bahwa kebenaran (al haq) itu tidak hanya
terbatas pada satu jalan saja, berarti dia adalah syetan. Dan sungguh
Allah ber rman,
Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan.
(QS Yunus: 32).
2. Tafsir hablullah (tali Allah) yang wajib dipegang teguh oleh kaum muslimin
agar tetap bersatu, ialah kitab Allah, Al Qur'an Al Karim.
Tafsir ini tidak bertentangan dengan ucapan Abdullah bin Mas'ud yang
berbunyi,
Jalan yang lurus, yaitu jalan yang kami lalui ketika kami dtinggal
oleh Rasulullah. 7
6Diriwayatkan Abu Ubaid dalam Fadhailul Qur'an, halaman 75; Ad Darimi 2/433; Ibnu
Nashr dalam As Sunnah, no 22; Ibnu Dhurais dalam Fadhailul Qur'an, 74; lbnu Jarir
dalam tafsirnya no. 7566 (tahqiq Ahmad Asakir); Ath Thabari 9/9031; Al Ajuri dalam
Asy Syari'ah, 16; dan lbnu Baththah dalam Al lbanah, no. 135; dan riwayat ini shahih.
7Atsar shahih, dikeluarkan Ath Thabari, 10 no. 10454; Al Baihaqi dalam Asy Syu'ab
4/88-89; Ibnu Wadhdhah dalam Al Bida', no. 76.
[6]
Karena nabi telah mewariskan dua pusaka untuk mereka, yaitu Al Qur'an
dan Sunnah, sebagaimana sabda beliau
Aku tinggalkan untuk kalian sesuatu. Jika kalian berpegang
teguh kepadanya. kalian tidak akan sesat selama-lamanya. yaitu
Kitab Allah dan Sunnahku. 8
Ditinjau dari ekstensinya, Sunnah Rasulullah itu sama dengan kitab
Allah sebagai wahyu, dan Sunnah itu sebagai penjelas bagi Kitab Allah.
Bahkan, makhluk terbaik yang menafsirkan Al Qur'an adalah Rasulullah,
sebagaimana rman Allah
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka. (QS An Nahl: 44).
Aisyah berkata,
Akhlaq beliau adalah Al Qur'an. 9
Oleh karena itu pula, jika timbul perpecahan dan perselisihan diantara
mereka, Rasulullah memerintahkan umatnya agar berpegang teguh dengan
sunnahnya. Beliau bersada,
Dan sesungguhnya, barangsiapa diantara kalian yang hidup
setelahku, dia akan melihat banyak perselisihan, maka wajib atas
kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para
khalifah yang dibert hidayah yang mereka di atas petunjuk.
Berpegang teguhlah padanya, dan gigitlah to dengan gigi
geraham kalian (peganglah sekuat-kuatnya, Red.), serta jauhilah
perkara-perkara yang baru (dalam agama): karena sesungguhnya,
8Diriwayatkan Imam Malik dalam Al Muwaththa' 2/899; Ibnu Nashr dalam As Sunnah,
no. 68; Al Hakim 1/93; dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam komentar beliau
tentang kitab Misykatul Mashabih, no. 186.
9Riwayat Ahmad 6/9I, 163; dan Muslim 746.
[7]
7setiap perkara yang baru (yang diada-adakan dalam agama)
adalah bid'ah. 10
Ketika menjelaskan sebab bersatunya salaf pada aqidah yang sama, Imam Ibnu
Bathuthah mengatakan,
"Generasi pertama, semuanya masih tetap pada aqidah ini. Hati
dan mazdhab mereka menyatu. Kitab Allah sebagai jaminan yang
memelihara keutuhan mereka. Sunnah Rasulullah sebagai pedoman.
Mereka tidak menuruti pendapat atau rasio mereka, (dan) tidak
menyandarkan pemahamannya kepada hawa nafsu.
Kondisi umat pada saat itu terus demikian. Hati-hati mereka
terpelihara oleh penjagaan Allah dan berkat InayahNya jiwa-jiwa
mereka terkendali dari hawa nafsu. 11
Apa yang dikatakan Ibnu Baththah itu benar; karena agama Allah itu hanya satu
(dan) tidak ada pertentangan. Allah ber rman,
Kalau sekiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka
mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS An
Nisa': 82).
Adapun yang kami dakwahkan ini adalah jalan yang paling jelas, paling terang,
paling kaya (dengan dalil) dan paling sempurna. Dari Al Irbadh bin Sariyah, ia
berkata, Rasulullah bersabda,
Sesungguhnya, aku telah meninggalkan kalian di atas jalan, seperti
jalan yang sangat putih. maiamnya sama dengan siangnya. Tiada
yang menyimpang sesudahku dari jalan itu, kecuali orang (itu) akan
binasa. 12
10Hadits shahih diriwayatkan Abu Daud, no. 4607; At Tirmidzi, no. 2676; dan yang
lainnya.
11Lihat kitab Al lbanah atau Al Qadar, I.
12Riwayat Ahmad 4/126; Ibnu Majah, no. 5 dan 43; Ibnu Abi Ashim dalam kitabnya
As Sunnah, no. 48-49; Al Hakim 1/96; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam kitab
Fi Dhalalil Jannah Fi Takhrij Sunnah.
[8]
Sehingga, jika ada seseorang yang berupaya untuk "menyempurnakan atau
menghiasinya" dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah dan tidak
pula oleh para sahabat berarti perbuatan itu hanyalah sebuah upaya untuk
menyimpangkan mereka kepada jalan-jalan kesesatan, bahkan menyimpangkan
ke lembah-lembah kebinasaan.
Inilah yang dinamakan oleh Rasulullah,
Bid'ah adalah kesesatan.
Oleh karena itu, para salafush shalih sangat mengingkari orang-orang yang
menambah-nambah dalam (masalah) agama, atau mengotori agama ini dengan
pendapat rasionya. Umar bin Khathab menuturkan,
Janganlah kalian duduk dengan orang-orang yang berpegang dengan
rasio mereka; karena sesungguhnya, mereka itu musuh Sunnah
Rasulullah. Mereka tidak mampu memelihara Sunnah. Mereka lupa
(dalam sebuah riwayat, mereka diserang) hadits-hadits Rasulullah,
sehingga mereka tidak mampu memahaminya.
Mereka ditanya tentang masalah yang tidak mereka ketahui, akan
tetapi mereka malu untuk mengapakan, "Kami tidak mengetahui,"
lalu mereka berfatwa dengan rasionya, sehingga mereka tersesat dan
menyesatkan orang banyak. Mereka tersesat dari jalan yang lurus.
Sesungguhnya Nabi kalian tidaklah diwafatkan Allah, kecuali setelah
Allah mencukupkannya dengan wahyu dari rasio. Dan seandainya
rasio itu lebih utarna daripada Sunnah, niscaya mengusap bagian
bawah kedua sepatu (khuf). itu lebih utama daripada mengusap
bagian atasnya. 13
13Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Zuamanain dalam Ushulus Sunnah, no 8; Al Lalika'i dalam
Syarh Ushulul l'tiqad, no. 201; Al Khatib Al Bagdadi dalam Faqih wal Mutafaqqih, no.
476-480; Ibnu Abdil Baar dalam Jami' Bayanul Ilmi Wa Fadluhu, no. 2001, 2003, 2005;
Ibnu Hazm dalam Al Ihkam, 4/ 42-43; Al Baihaqi dalam Al Madkhal, 312; Qiwamus
Sunnah dalam Al Hujjah, 1/205, pada sebagian sanadnya ada yang lemah dan ada pula
yang putus.
Namun demikian, sebagian sanad dapat menguatkan sebagian yang lain. Oleh karena itu,
Ibnu Qayyim mengatakan,
"Sanad-sanad ucapun Ibnu Umar ini sangat shahih." (Lihat I'lamul Muwaqi'ien,
[9]
Yang demikian itu, karena agama ini dibangun diatas dasar ittiba' (mengikuti
wahyu), bukan dengan ikhtira' (mengada-ada). Sedangkan rasio, biasanya
tercela; karena banyak urusan agama yang tidak bisa jangkauan oleh akal semata.
Apalagi akal manusia memiliki perbedaan dalam tnenjangkau pemahaman dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya; meskipun terkadang pendapat itu patut
mendapatkan pujian. 14 Abdullah bin Mas'ud berkata,
Ikutilah dan jangan mengada-ada, karena sesungguhnya (ajaran
syari'at Islam ini) telah mencukupi kalian, hendaklah kalian
berpegang dengan tuntunan agama yang sediakala. 15
Abdullah bin Umar berkata,
Semua bid'ah itu adalah sesat. meskipun manusia memandangnya
baik. 16
Dan selama pembahasan kami tentang "pengaruh perbuatan bid'ah" yang
menghalangi seseorang dalam mencari jalan yang lurus, maka saya akan
menyebutkan sebuah ucapan Abdullah bin Abbas perihal masalah ini, yang
menunjukkan luasnya ilmu para sahabat.
Dari Utsman bin Hadhir, ia berkata:
Aku datang menjumpai Abdullah bin Abbas. Lalu aku berkata
kepadanya, ú

æ
J“ð

@
(berilah wasiat kepadaku); diapun berkata,
"Ya, bertaqwalah engkau kepada Allah, istiqamahlah dan
(berpeganglah pada) atsar (jejak para salaf. -pent).
1/44).
14Lihat perinciannya dalam I'lamul Muwaqi'ien, 1/63 karya Ibnu Qayyim.
15Diriwayatkan oleh Waki' dalam Az Zuhd, no. 315; Abdur Razaq, no. 20465; Abu
Khaitsamah dalam Al Ilmu, no. 45; Ahmad dalam Az Zuhd, halaman 62; Ad Darimi
1/69; lbnu Wadhdhah dalam Al Bida', no. 60; Ibnu Nashr dalam As Sunnah. no. 78
dan 85; Thabrani 9/8770 dan 8845; lbnu Baththah dulam Al Ibanah / Al Iman 168-
169, 174-175 dan Al Madkhal, no. 387-388; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih,
1/43; dan dishahihkan oleh Al Albani dalam ta'liq-nya atas kitab Al Ilmu, karya Abu
Khaitsamah.
16Ibnu Nashr dalam As Sunnah, 82; Al Lalika'i dalam Syarh Ushulul I'tiqad, no. 126; Al
Baihaqi dalam Al Madkhal, no. 191, dan sanadnya shahih.
[10]
Ikutilah, dan jangan mengada-ada dalam urusan agama.
17
Cobalah anda perhatikan ucapan ini. Dia memadukan dua hal:
1. Taqwa kepada Allah, yang maknanya sama dengan keikhlasan. Sebab
ia dipadukan dengan perintah untuk berittiba' (perintah untuk mengikuti
tuntunan Nabi, pent.).
2. Al ittiba', yang maknanya mengikuti jalan yang lurus, sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Selanjutnya, beliau mengingatkan agar waspada terhadap yang bertolak belakang
dengan kedua hal di atas, yaitu bid'ah. Demikianlah mayoritas ucapan para salaf,
meskipun singkat, namun selalu luas cakupannya dan membentengi (seseorang).
Merupakan perangai Salafush Shalih, mereka selalu bersikap tegas dan
keras terhadap orang yang mencari-cari ucapan manusia (para tokoh) untuk
menandingi hukum Rasulullah, setinggi apapun kedudukan dan martabat tokohtokoh
tersebut.
Tidak diragukan, bahwasanya beradab dan memelihara kesopanan terhadap
para ulama', mencintai dan mendahulukan mereka atas lainnya, serta tudingan
seseorang terhadap rasionya jika disejajarkan dengan pendapat-pendapat para
ulama; semua itu perkara yang amat penting.
Namun demikian, hal tersebut merupakan persoalan lain. Sedangkan
mendahulukan wahyu (Al Qur'an dan As Sunnah) setelah jelas permasalahannya,
juga merupakan perkara lain.
Urwah berkata kepada Ibnu Abbas,
"Celaka engkau. Engkau telah menyebatkan manusia,
karena memerintahkan untuk melakukan ibadah umrah
pada sepuluh hari (pertama bulan Dzul HWah), padahal
tiada umrah pada hari-hari itu."
17Diriwayatkan Ad Darimi, I/53; lbnu Wadhdah dalam Al Bida', no. 61; lbnu Nashr, no.
83; lbnu Baththah dalam Al lbanah, no. 200 dan 206; Al Khatib dalam Al Faqih Wal
Mutafaqqih, 1/173, dari dua jalan yang saling menguatkan.
[11]
Maka Ibnu Abbas berkata, "Wahai Uray (Nama tasghir(kecil) Urwah
bin Zubair. Wallahu a'lam, (pent).) Tanyakanlah kepada ibumu."
Urwah berkata,
"Bahwasanya Abu Bakar dan Umar tidak pernah mengatakan
(berpendapat) seperti itu, padahal mereka benarbenar
lebih mengetahui dan lebih mengikuti Rasulullah
daripada engkau."
Maka dijawab oleh Ibnu Abbas,
Dari sinilah kalian didatangi. Kami membawakan
kepadamu (perkataan) Rasulullah, dan kamu membawakan
(perkataan) Abu Bakar dan Umar.
Dalam riwayat lain. Ibnu Abbas berkata kepadanya,
Celaka engkau. Apakah mereka berdua (Abu Bakar dan
Umar, pent), lebih engkau dahulukan ataukah yang tertulis
dalam Kitab Allah dan disunahkan oleh Rasulullah bagi
sahabat dan umatnya?
Dalam riwayat lain, ia bertutur,
Keithatannya mereka akan dibinasakan, aku katakan "Nabs berkata"
sedang mereka berkata Abu Bakar dan Umar telah melarangnya". 18
Setelah membawakan ucapan Ibnu Abbas di atas, Syaikh Abdurrahman bin
Hasan mengatakan,
"Dalam ucapan Ibnu Abbas terdapat isyarat yang mcnunjukkan,
bahwa seseorang yang telah sampai padanya dalil, lalu tidak
mengambilnya (tidak mengamalkannya) karena bertaklid kepada
imamnya, maka orang itu wajib diingkari dengan keras karena
sikapnya yang menyelisihi dalil." 19
18Diriwayatkan lshaq bin Rahawi (Rahwiyah), sebagaimana dalam kitah Al Muthallibul
'Aliyah. no. 1306; Ibnu Abi Syaibah, 4/103, dan dari jalurnya dikeluarkan oleh
Thabrani; Al Khatib dalam Al Faqih Wal Mutafaqqih, 379 - 380; Ibnu Abdil Baar
dalam Jami'ihi, no. 2378 dan 2381; dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Al
Muthalib; dan dihasankan oleh Al Haitsami dalam Al Mujma', 3/234; juga oleh Ibnu
Mu ih dalam Al Adab Asy Syar'iyyah, 2/66.
19Lihat pada Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, halaman 338.
[12]
Beliau juga mengatakan,
"Kemungkaran ini, (Yang beliau maksud dengan "kemungkaran",
yaitu mengesampingkan dalil hanya dikarenakan taqlid kepada imam
(madzab)nya, Pent.) telah merebak luas terutama dari mereka yang
menisbatkan diri kepada ilmu.
Mereka telah menancapkan jerat-jerat dalam menghalangi (manusia) dari
mengambil Al Qur'an dan As Sunnah; menghalangi mereka dari mengikuti
Rasulullah dan menjunjung tinggi perintah serta larangannya."
Diantara ucapan mereka,
"tidak boleh berdalil dengan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah,
kecuali seorang mujtahid, sedangkan ijtihad telah terputus."
Ada juga yang mengatakan,
"orang yang aku taklidi (ikuti), lebih mengetahui daripada kamu
tentang hadits, nasikh dan mansukhnya"
serta ucapan-ucapan serupa dengan tujuan akhirnya untuk meninggalkan ittiba'
(mengikuti) Rasulullah, yang tidak pernah berbicara karena terdorong hawa
nafsu, lalu (mereka) bersandar kepada ucapan orangorang yang bisa saja berbuat
kesalahan.
Ada juga diantara imam yang menyelisihi dan mencegah dari perkataan
Rasulullah dengan berdalih
"tiada seorang ulama pun, kecuali yang dimilikinya hanyalah sebagian
ilmu, dan tidak semua (dikuasainya)".
Maka wajib bagi setiap mukallaf (orang yang telah terkena beban syari'at),
jika telah sampai kepadanya dalil Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah dan telah
dipahaminya, untuk berhenti padanya dan mengamalkannya,meskipun ada yang
menyelisihinya, sebagaimana rman Allah,
Ikutilah apa yang diturunkan kepada kamu sekaltart dari Rabb-mu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya.
Arnat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS
Al A'raf: 3).
[13]
FirmanNya
Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasannya Kami telah
menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang dia
dibacakan kepada mereka. Sesungguhnya di dalam (Al Qur'an)
itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bugs orang-orang
yang beriman. (QS Al Ankabut: 51).
Dan di depan telah disampaikan perihal ijma' (kesepakatan) para ulama' atas
masalah yang kami sampaikan ini, serta keterangan, bahwa mugallid (orang yang
taklid) tidak termasuk orang-orang yang berilmu. Demikian pula Abu Umar bin
Abdil Barr dan ulama' lainnya, telah menceritakan ijma' atas masalah ini. 20
Pengagungan kaum salaf terhadap Sunnah Rasulullah telah sampai pada
tingkatan menghunuskan pedang kepada orang yang menolak hadits Rasulullah,
sebagaimana dilakukan oleh Imam Sya 'i.
Beliau telah mengadu kepada Al Qadhi (pemimpin mahkamah
syari'at) Abul Bakhturi perihal Bisyir Al Marisi. 21 Beliau
berkata,"Aku berdialog dengan Al Marisi tentang mengundi, 22dia
berkata, "Wahai Abu Abdillah, Al Qur'an (mengundi) itu Judi,"
maka kudatangi Abul Bakhturi, lalu kukatakan kepadanya,"Aku
mendengar Al Marisi berkata, mengundi itu Judi,"
Abul Bakhturi menjawab, "Wahai Abu Abdillah. ajukan seorang
saksi lagi. Aku akan membunuhnya." Dalam riwayat lain ida
20Lihat Fathul Majid Syarah Kitabut Tauhid, halaman 339- 340.
21Bisyir bin Ghiyats Al Marisi, seorang ahli kalam yang keluar dari ketaqwaan dan sikap
wara'. Dia berakidah Jahmiyah (golongan yang mengingkari dan mena 'kan sifat-sifat
Allah). Dia menyatakan, bahwa Al Qur'an adalah makhluk ciptaan Allah.
Oleh sebab itu, dika rkan oleh sejumlah ulama', seperti: Qutaibah bin Sa'id dan yang
lainnya, meninggal tahun 218 H. Lihat SiyarA'lamin Nubala', 10 / 199, (Pent).
22Hal ini mengacu kepada hadits Imran bin Husain,
Bahwasanya seorang lelaki membebaskan enam budaknya ketika ia dihampiri
kematian, ia tidak memiliki harta selain mereka, maka Rasulullah memanggil
mereka dan membagi menjadi tiga bagian, lalu beliau mengundi diantara mereka,
kemudian beliau memerdekakan dua orang dan yang empat tetap sebagai budak
dan beliau mengeluarkan kata-kata yang keras terhadap orang. (HR Muslim,
1668).
[14]
berkata,"Ajukan seorang saksi lagi, niscaya akan kuangkatnya pada
sebatang kayu, lalu kusalibnya." 23

23Diriwayatkan Al Khalal dalam As Sunnah, 1735; Al Khatib dalam Tarikh Al Baghdad,
7/60, dan sanadnya shahih. Orang yang mengambil suatu perkara atau mengerjakan
suatu amalan tanpa mengetahui sumber dalilnya.
                                                                    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar